Bisnis Basah dari Mengolah Tanah
Bisnis Basah dari Mengolah Tanah
Bisnis hasil pertanian organik semakin menguntungkan
Konsumsi masyarakat terhadap produk pertanian organik semakin meningkat. Kalau tak ingin menjadi petani, peluang terbuka lebar untuk menjadi pemasok.
Bagus Marsudi, Johana Ani Kristanti
Di masyarakat modern ini pola hidup sehat menjadi salah satu ukuran standar kualitas. Bukan sekadar menyeimbangkan antara kesibukan dan olah raga. Tapi, lebih dari itu, pola hidup sehat bisa dimulai dari konsumsi makanan. Semakin jauh makanan itu dari kandungan obat-obatan kimia atau pestisida, kemungkinan untuk meningkatkan standar hidup sehat kian terbuka lebar.
Itulah sebabnya, beberapa tahun terakhir berkembang gerakan untuk mengembangkan produk pertanian yang bebas dari unsur pestisida. Caranya, dalam proses pengembangan komoditas, sedapat mungkin petani kembali ke alam. Antara lain dengan menggunakan berbagai bahan penunjang dari sumber-sumber yang ramah lingkungan. Inilah yang disebut sebagai pertanian organik.
Berbeda dengan para investor yang terjun ke sektor agribisnis lima tahun silam, antusiasme untuk masuk ke pertanian organik tak begitu marak. Pasalnya, pasar produk ini masih terbilang sempit. Cuma mereka yang paham dan peduli soal kesehatan saja yang menyantap produk organik. Benar, prospek ke depan memang menjanjikan. Tapi, perkembangan dari tahun ke tahun terbilang lambat.
Belum lagi, kendati besarnya investasi awal ke sektor tanaman organik tak jauh berbeda dengan investasi sektor agribisnis lain, dari sisi pengelolaan jauh lebih rumit. Produksinya memang bisa massal. Tapi, perawatan dan pemeliharaannya mesti ekstra. Kalau tidak, hasilnya akan jauh dari memuaskan. Soalnya, kualitas produk organik tak bisa diukur secara kasat mata. Melainkan dari produsennya.
Tak heran jika keberhasilan orang masuk bisnis ini terutama diukur dari integritas produsennya. Mengklaim bahwa memiliki produk organik saja tak cukup. "Ini adalah bisnis kepercayaan," jelas Y.P. Sudaryanto, Wakil Direktur Yayasan Bina Sarana Bhakti, sebuah pusat pengembangan tanaman organik pimpinan Agatho Elsener. Bahkan, jika integritas sudah diakui, konsumen tak bakal mempersoalkan tampilan produk.
Kendati begitu, dari hitung-hitungan bisnis, produk organik memang menjanjikan. Harga jual di pasaran rata-rata lebih tinggi 20%-30% dari produk sejenis. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh lingkup pasar yang masih kecil dan pasokan yang masih terbatas. Tapi, menurut Sudaryanto, produk organik tak bisa diukur dengan hukum ekonomi. Biaya produksinya memang mahal. "Lebih dari setengahnya habis untuk karyawan," tuturnya.
Yang penting kepercayaan dan pasokan
Kendati begitu, akhir-akhir ini justru banyak orang terjun ke bisnis produk pertanian organik. Selain Agatho, yang sudah 20 tahun terakhir ini menggeluti bidang ini, di kawasan Puncak, Bogor, ada puluhan produsen produk organik yang khusus memasok kebutuhan sekitar Jabotabek. Di luar itu, daerah Bandung, Ambarawa, Bedugul, dan Pekanbaru juga mulai marak pengembangan produk organik.
Tak cuma para petani yang mulai gemar menanam produk organik. Beberapa tahun terakhir di Jakarta juga menjamur pemasok produk organik. Sebagian memang mempunyai lahan pertanian organik di luar kota. Tapi, tak sedikit yang berusaha mencari untung dari penjualan produk organik yang diambil dari petani organik. Produknya beragam. Dari berbagai jenis sayuran, buah, sampai beras organik.
Salah satu yang cukup populer adalah Melly Manuhutu dan Prakaca, suaminya. Bermula dari iseng menawarkan sayuran organik hasil panenan kebun tetangga mertuanya di Cisarua, belakangan Melly justru menjadi pemasok produk organik ke berbagai restoran di Jakarta. "Kita gencar menawarkan keunggulan sayuran organik ketimbang sayuran biasa," ungkapnya. Kini, tiap hari Melly memasok puluhan kilogram sayuran ke banyak tempat.
Kunci sukses bisnis produk organiknya ini, kata Melly, adalah tetap menjaga kualitas dan pasokan pada pelanggannya. "Kita tak ingin mengecewakan pelanggan yang sudah mempercayai kita untuk memasok sayuran organik," tuturnya. Salah satunya adalah dengan tetap menjamin kualitas dan kadar organik produk yang dijual. "Kita tak mau sembarangan menerima pemasok baru," tambahnya.
Sebagian besar pelanggan produk organik pasokan Melly yang berlabel Organic Vegetables adalah restoran dan konsumen langsung yang sudah jelas kebutuhan tiap minggunya. Tapi, Melly juga membuka satu gerai produk organik di Kemang untuk memenuhi permintaan pelanggan yang membutuhkan sewaktu-waktu. "Yang datang umumnya mereka yang ingin mencoba atau butuh mendesak," jelasnya.
Pemasok lain yang tak kalah agresifnya adalah Organic Mart milik Suharyo Husen di Pasar Minggu. Berbekal pengalamannya di Departemen Pertanian, Suharyo menjadi pemasok besar beras organik di Jabotabek. "Pangsa pasar saya bisa sampai 100 ton per bulan," ungkapnya. Target utamanya memang pasar swalayan dan lembaga-lembaga seperti rumah sakit, restoran, dan jaringan MLM (multilevel marketing).
Bisa dijual langsung maupun lewat agen
Menurut Suharyo, membeli lewat pemasok produk organik jauh lebih murah ketimbang diambil dari pasar pada umumnya. "Harga saya bisa bersaing karena sistemnya direct selling, tanpa lewat pasar Cipinang," jelasnya. Dari sisi jaringan pasokan, jelas lebih terjamin. Suharyo mengaku mempunyai 500 petani binaan dan agen-agen di daerah yang siap memasok produk organik ke Organic Mart.
Produk sayuran dari Bina Sarana Bhakti pun sejak awal memang memasok pelanggan di sekitar Jabotabek. Selain lembaga seperti rumah sakit, produk sayuran organik produksi kebun Agatho merambah ke kalangan kedutaan besar, ekspatriat, dan pasar swalayan. Produksi tiap bulannya mencapai 15 ton. "Hampir 90% di antaranya habis untuk konsumsi pelanggan rumahan," jelas Sudaryanto.
Untuk memasarkan produknya, Bina Sarana memiliki puluhan agen. Mereka ini sekaligus berfungsi sebagai koordinator pemasaran yang bakal membagi sayuran organik ke anggotanya. "Mereka memang ambil margin penjualan, tapi tidak banyak," ungkap Sudaryanto. Jelas, bagi Bina Sarana, agen-agen ini cukup membantu perluasan jaringan. Sekaligus mengurangi ongkos pengangkutan sampai ke pintu dapur pelanggan.
Pernah juga produk organik asal Cisarua itu menjajal pasar Singapura dengan label Agatho Agro. Permintaannya cukup besar. Cuma, ada kendala. "Masih ada masalah dengan sistem penyimpanannya (cold storage)," tandas Sudaryanto. Pasalnya, jika ingin sayuran segar sampai di Singapura, suhu penyimpanan sayuran harus diatur dengan ketat. "Tak boleh lebih dari 20 derajat," tambahnya.
Sudaryanto yakin bahwa prospek produk pertanian organik ini bakal bagus. Soalnya, saat ini trennya sudah tampak menaik. Susahnya, kendati ada peluang itu, pihaknya tak bisa langsung mendongkrak produksi. Besarnya produksi dan pasokan sesuai dengan permintaan yang ada. "Mungkin karena core business kami adalah sayuran organik yang cuma berumur tiga hari," jelasnya.
Cuma, dengan banyak pemasok dan penjual produk pertanian organik, Sudaryanto mengingatkan konsumen untuk teliti membeli. "Secara kasat mata memang tak bisa dibedakan antara organik dan nonorganik," tuturnya. Salah satu cara identifikasi yang paling mudah adalah mencari tahu siapa produsen dan di mana lahannya. "Produk organik yang benar pasti tak menutupi identitas asal produksinya," terangnya. Dari identitas itu bisa dicek, benarkah di daerah itu ada lahan pertanian organik.
Komoditas Layak Organik
* Tanaman padi
* Hortikultura sayuran: brokoli, kubis merah, petsai, caisin, cho putih, kubis tunas, bayam daun, labu siam, oyong, dan baligo. Buah: nangka, durian, salak, mangga, jeruk, dan manggis.
* Perkebunan kelapa, pala, jambu mete, cengkeh, lada, vanili, dan kopi.
* Rempah dan obat Jahe, kunyit, temulawak, dan temu-temuan lainnya.
* Peternakan susu, telur, dan daging.
Rugi Dulu, Untung Belakangan
Jika Anda ingin mulai dari awal bisnis pertanian organik, ada baiknya tahu seluk-beluk sistem produk organik. Katakanlah menghasilkan beras organik. Untuk benar-benar memproduksi beras yang organik, setidaknya lima kali panen terlebih dulu atau sekitar 2,5 tahun. Produk yang dihasilkan selama masa itu belum bisa disebut organik, melainkan neo-organik.
Untuk memulai proses menanam organik, sawah tak boleh ada pestisida. "Bibit GMO (rekayasa genetika) tidak boleh. Tapi, urea masih boleh pada awalnya," jelas Suharyo Husen. Supaya tanah tak kaget, sampai panen pertama (tahun pertama), kadar ureanya boleh sampai 80%. Sisanya pupuk organik. Pada musim tanam kedua, porsi urea turun menjadi 60%, organik 40%, pestisida nol. Pada panen ketiga (tahun kedua), porsi urea 40%, organik 60%.
Sampai di sini, jelas, "Produksi bakal turun 20%- 30%," tutur Suharyo. Tapi, kompensasinya, harga gabah bisa dijual Rp 500/kg lebih mahal. Pada panen ke-4, porsi urea 20% dan 80% organik. Baru pada panen ke-5 (tahun ketiga), sepenuhnya sudah pupuk kandang. Saat itulah tanah sudah kembali subur. "Panennya bisa kembali lagi ke 5 ton per hektare, bahkan bisa sampai 7 ton per hektare, tergantung dari varietas yang ditanam," jelasnya.
Dari analisis ekonomi, sampai dua tahun pertama, memang, produksi akan turun. Itu berarti, petani bakal merugi. Biaya produksi masih tak sebanding dengan hasil yang didapat. Tapi, setelah semuanya serba-organik, petani akan diuntungkan. "Soalnya, mereka tak perlu lagi membeli pestisida yang mahal," kata Suharyo. Selain harga gabah dan berasnya lebih dihargai tinggi, ongkos produksinya juga lebih murah.
Mengusung Organik di Metropolitan
Mengembangkan pertanian organik tak mesti harus menjadi petani langsung. Dengan semangat yang sama, Suharyo Husen sedikit demi sedikit ikut mengangkat peran produk organik lewat kiosnya: Organic Mart. Kendati cuma dalam bentuk pemasaran bersama produk organik, kehadiran gerai produk organik itu secara tak langsung juga menjadi ujung tombak kampanye perlunya hidup sehat dengan produk pertanian organik.
Konsep Suharyo untuk membuka pusat produk organik ini sudah digodok sejak 2001. Saat itu dia masih menjadi pejabat di Departemen Pertanian. Tapi, konsep itu baru bisa diwujudkannya setelah Suharyo menjalani pensiun. Akhirnya, Oktober 2003 Suharyo lantas berinisiatif mendirikan Pusat Organik Indonesia sekaligus meresmikan toko produk organiknya di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Suharyo secara khusus berkutat pada bagaimana cara memasarkan secara luas produk-produk organik. Organic Mart, misalnya, diharapkan menjadi jembatan antara petani dan konsumen organik. Kios itu menampung dan memasarkan produk-produk organik dari petani. Bersamaan dengan itu, "Kita membantu konsumen organik untuk mendapatkan barang yang betul-betul organik," ungkapnya.
Salah satu kesulitan perkembangan pertanian organik, menurut Suharyo, adalah di bagian pemasaran. Maklum, kebanyakan petani hanya tahu soal produksi dan cenderung buta soal bagaimana menjual produknya. Padahal, "Kebutuhan dan pasar produk organik begitu besar," jelasnya. Kendati bukan termasuk praktisi pertanian, peluang ini tak disia-siakan Suharyo untuk menjadi pemasar produk organik.
Sasaran yang dibidik Suharyo untuk pema-saran produk organiknya tidak bergantung pada jaringan pasar swalayan. Dia langsung menyasar ke perorangan dan lembaga yang memerlukan produk organik. Misalnya, rumah sakit, restoran, bahkan perusahaan multilevel marketing. "Mereka sudah punya massa maupun anggota," ungkapnya. Selain kota besar seperti Jakarta, Medan, Surabaya, Makassar, Suharyo juga mulai merambah Batam dan Papua.
Meskipun menyediakan berbagai jenis produk pertanian organik, Suharyo lebih banyak menjual beras organik. "Sekarang pangsa pasar saya mencapai 60 ton sampai 100 ton beras organik per bulan," jelasnya. Ia mengambil beras-beras itu dari petani di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Untuk menjaga pasokan, Suharyo membina sekitar 500 petani di daerah. "Jika butuh cepat, saya tinggal hubungi agen di daerah," tandasnya.
Untuk menjadi pemasar produk organik ini Suharyo mengaku tak mematok margin tinggi. "Paling tinggi 10%. Soalnya, niat saya membantu memasarkan," tuturnya. Katakanlah kalau harga eceran satu kilogram beras jenis IR 45 seharga Rp 4.000, pihaknya membeli dengan harga Rp 3.800. Margin itu bisa saja lebih tipis lagi. "Biayanya habis untuk membungkus dan segala macam," akunya.
Rencananya, tahun 2005 nanti Suharyo bakal mendongkrak omzetnya dua kali lipat dengan menerobos pasar-pasar baru di luar Jawa. "Dengan begitu petani pun ikut meningkatkan produksinya," katanya. Ekstensifikasi produk pun juga dilakukan. Produk baru yang sedang dijajakinya adalah membuat tepung beras organik. "Sudah ada permintaan untuk produk ini. Sekarang lagi dilakukan percobaan untuk membikin kue organik," tambahnya.
Mulai tahun depan Suharyo juga berencana lebih mengembangkan Organic Mart-nya lewat sistem waralaba. "Sekarang saya baru mengincar daerah Kelapa Gading, Darmawangsa, atau Permata Hijau," ungkapnya. Bahkan, salah satu cita-citanya adalah membuat swalayan organik. Di situ, berbagai produk organik bisa didapatkan dengan mudah. "Niat saya itu membantu petani untuk memasarkan hasil mereka," katanya.
No comments:
Post a Comment